Kamis, 20 Maret 2014

mager

aku menatapmu tajam. kamu duduk di pojok kelas yang sudah sepi sambil menatap jendela yang mengarah ke lapangan kosong.
matahari hari itu sedang terik-teriknya, tidak orang yang mau bertarung dengan panas sekolahnya siang itu.
hanya ada dua makhluk yang sedang berebut oksigen yang sama disini, aku dan kamu.
seluruh siswa kurasa sudah tidur manja di atas tempat tidurnya masing-masing.
sisanya beberapa anak osis yang lalu lalang entah melakukan apa.
"kenapa kamu marah?" akhirnya pertanyaanku keluar juga. setelah susah payah ku atur amarahku agar tak meledak.
"Dulu juga kamu begitu. Hanya saja dia diam dan penuh pengertian padamu,sahabatnya." aku mencoba mengingatkan tentang kejadian 2 tahun lalu. sewaktu masih di bangku sekolah menengah pertama, kejadiannya persis sama seperti ini. hanya saja peran mereka terbalik.
'meski hatinya terluka. egois!' tambahku dalam hati.
aku tak ingin memeperkeruh suasana dalam persahabatan kita ini.
kau diam, padahal tadi bibirmu yang sekarang bergetar menahan tangis tak berhenti mengeluhkan yang terjadi dalam kisah cintamu. seperti tak sadar akan apa yang terjadi dalam persahabatan kita yang sudah selama tujuh tahun ini.
ku alihkan pandanganku kearah papan tulis didepan kelas.
karena ku dengar tarikan nafasmu semakin berat.
jika pertahananmu runtuh, maka air matamu akan jatuh dan aku akan luluh.
tapi kali ini aku harus tegas.
sudah cukup aku hanya tersenyum dan mengatakan sabar, sampai mentalmu seperti anak manja yang selalu di belikan barang kesukaanya.
"lalu maumu apa? aku bilang padanya jangan mendekati dia lagi karena kau cemburu?" nadaku meninggi.
tak terdengar jawaban. lama.
bernar saja, aku mulai mendengar tangismu.
tapi aku harus. aku harus tegas. kerena sahabat yang baik bukan hanya selalu melindungi, membela, apa lagi hanya membahagiakan. tapi sahabat yang baik adalah yang jujur pada keadaan, kenyataan dan diri sendiri.



keheningan yang panjang.
tidak ada dialog, hanya ada suara sesenggukanmu. dan sesekali suara tarikkan nafasku



aku tidak bisa.
aku berlari menuju kursi disebelahmu duduk. ku peluk kamu.
tangismu semakin menjadi. entah arti tangisanmu itu apa.
kamu menyesali atau tak bisa melepaskan.
aku pun mulai menangis.
bagaimana tidak.
persahabatan yang kita jalani selama tujuh tahun, hancur hanya karena urusan keegoisan percintaan.



aku benci.
aku tidak suka ketika dua sahabatku tak saling sapa.
atau mereka yang mulai menjelekkan satu sama lain dengan seperti aku menjadi tempat sampahnya.
aku tak mau semuanya sia-sia.
hatiku rasanya menjerit, tidakkah mereka menghargai aku.
aku memang yang paling pendiam.
aku bahkan tidak punya perlawanan jika sahabatku meminta.
aku memang perantara mereka berdua.
aku memang seorang pendengar.
walaupun mereka egois.
hanya mementingkan urusan mereka tanpa peduli terhadapku.
tapi mereka tetap sahabatku.


beberapa menit berlalu.


kami mulai menghapus airmata.
mengatur nafas.
bercengkrama sedikit demi mencairkan suasana.
suara tarikan nafas yang panjang, serta kursi kita yang bergeser sedikit karena terkena hempasan punggung yang lelah.



"aku coba" dialog serius yang pertama sejak satu jam lalu.



aku hanya tersenyum, walaupun entah apa arti dari perkataanmu itu.
kamu tidak butuh saran. bahkan kamu tidak boleh diberi saran.
aku biarkan kamu mengambil keputusanmu sendiri.

"kalau memang aku mengganggu persahabatan kalian, biarkan aku yang pergi." suara Wisnu. kami berpandangan. tak mengerti. lalu mengarahkan mata kearah pintu wisnu datang. bagaimana wisnu tiba-tiba muncul lalu pergi tanpa menunggu reaksi. padahal kami yakin tidak sedang dimata-matai. kami berpandangan sekali lagi. sama-sama mengerti.


"rena, fira. kok belum pulang?" benar saja. itu suara dita. berlari kecil dari arah belakang dan menyapa kami ketika kaki-kaki kami menuju parkiran sekolah. suaranya dibuat seceria mungkin. kami berpandangan kembali. lalu tersenyum kearahnya, mencoba seperti tidak ada yang terjadi.

"iya, habis belajar bareng." baru saja aku ingin memberi alasan. kamu sudah menyambarnya. syukurlah jika berbaikan dan melepaskan wisnulah yang kamu pilih.

aku menawari dita untuk pulang bersama menaiki mobilku. percakapan kami mulai seru. menjadi seperti biasa. seperti tidak pernah terjadi perebutan lelaki yang baru saja terjadi diantara kami.

"kamu kok tadi belum pulang, Dit?" akhirnya aku menanyakannya.

"iya, tadi ada kegiatan osis sedikit"

'kegiatan apa sampai matamu bengkat, Dit?' tanyaku dalam hati.
namun aku tak peduli. mungkin memang tak ada salahnya berbohong demi kebaikan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar