Senin, 11 November 2013

:')

saya lebih suka merekam aksi kamu dalam memori otak saya dari pada memori kamera saya
walaupun saya nanti bisa saja hilang ingatan atau saya yang sudah mulai pikun saat tua.
tapi selama saya mengingat kamu sebelum lupa dan atau saat saya mengingat kamu lagi, bukan karena perantara foto atau kisah.
itu indah

Jumat, 08 November 2013

menunggu

Aku ingat hari itu, lonceng sepedamu berdenting marah ketika aku membuatmu menunggu lama dihari pertama kita masuk sekolah menengah pertama. Seragam putih biru kebesaranku membuatku sedikit kerepotan mengangkat rok yang juga terlalu panjang agar tidak mengepel lantai terasku yang cukup berpasir. Mama bilang supaya aku tidak perlu membeli seragam baru setiap tahunnya, tidak dipedulikannya aku yang merajuk tidak terima.
"aku kan ingin tampil cantik didepan Zan, ma." kataku waktu itu. Mama hanya bisa tertawa kecil mendengar omelan putrinya yang mulai beranjak remaja ini.
Berbeda dengan kamu, seragammu yang pas sekali ditubuh tinggi tegapmu, membuatmu tidak tampak canggung ketika masuk kesekolah nanti. Sepeda berloncengmu juga siap mengantar kita, seperti biasa kamu mengelapnya di halaman rumahmu sementara aku bersiap. Tapi hey, mana senyum manis dan ucapan selamat pagimu. aku tertawa kecil, pasti karena 'mr. selalu tepat waktu' ini merajuk karena aku membuatmu menunggu lama dihari pertama menunjukkan kedisiplinan nomor satumu pada sekolah baru nanti.

Seperti itulah, teman yang teledor bisa selalu punya teman yang sangat rapi. itulah kita, tapi kita bukanlah hanya sekedar teman. aku masih ingat janji itu, dua puluh tahun lalu. saat kita masih di taman kanak-kanak. kita janji untuk saling menunggu dalam kebersamaan. kita punya komitmen untuk meresmikannya setelah lulus SMA. mungkin bagimu itu adalah janji yang tidak berarti. tapi sampai hari ini aku masih mengingatnya.

Ku seruput lagi secangkir teh yang masih sisa setengah itu.

Setelah lulus smp kita memasuki sekolah yang berbeda. kamu yang pintar tentu dapat diterima di sekolah terfavorit. sementara aku dengan otak yang pas-pasan cukup bersyukur diterima di sekolah unggulan kedua di kota ini.
Aku sempat menangis waktu tahu kita harus berpisah  walaupun hanya terpisah sekolah untuk pertama kalinya setelah kita selalu bersama sejak kepindahanmu kekota ini. tepatnya kesebelah rumahku.
"jangan nangis dong, Ra. nanti setiap hari pasti aku pasti nganter kamu deh."
janji itu kamu tepati, pada awalnya.
hari-hari pertama ku sekolah masih sama. yang berbeda hanya sepedamu yang sekarang sudah bermesin. meskipun kita disekolah yang berbeda kamu menepati janjimu untuk mengantarku setiap pagi dan menjemputku tepat ketika lonceng tanda pulang bersiul. bahkan kita mengerjakan tugas bersama. hari-hari masa orientasi juga begitu,kalau aja waktu itu kamu menurut untuk pergi terlebih dahulu pasti celana barumu tidak akan sobek karena kamu rela dihukum jongkok karena terlambat akibat mengantarku kesekolah. aku yang teledor ini waktu itu bangun kesiangan. kalau saja waktu itu kamu tidak masuk tanpa izin ke dalam kamarku mungkin aku akan bangun kesorean. belum lagi rambutku yang belum diikat sesuai peraturan konyol masa orientasi sekolah. tapi kamu. rela. walaupun setelah itu kamu tidak berbicara apapun padaku ketika aku menjahitkan celanamu. wajahmu itu. aku ingat betul cemberutmu.

aku menarik nafas berat layaknya orang yang tercekik kerinduan. masih ku pandangi langit sore dari jendela cafe ini.

segala hal yang mengingatkanku padamu ku coba untuk menghapusnya. tapi apa daya bila semua benda, barang, tempat ku hindari tapi didalam diriku sendiri masih ada kamu, Zan.

pada pertengahan kelas 11 kamu mulai terlambat untuk menjemputku.
aku masih ingat hari itu.
ini pertama kalinya kamu telat menjemputku tiga hari secara berturut-turut. aku kesal sekali. tidak  pernah kamu telat menjemput tiga kali berturut-turut dengan waktu membuatku menunggu yang sama, dua jam setengah. aku tahu itu bukan waktu yang singkat jika bukan kamu yang akan menjemput tentu aku tidak akan menunggu sebegitu lama.
aku khawatir. sungguh. menghubungi ponselmu pun hanya berakhir suara operator. tidak diangkat.
aku memutuskan untuk tidak lagi menunggu
hari itu aku pulang dengan menumpang pada temanku.
setelahnya aku merengek pada Papa agar diajarkan cara mengendarai sepeda motor agar tak bergantung lagi pada siapapun. termasuk padamu.

suara motor itu. suara motormu. aku hapal benar.
aku mengintip dari jendelaku dilantai atas.
mana? motormu tidak terparkir ditempat biasa
ku ikuti suara itu, oh di seberang sana.
dua kekiri dari depan rumahku. artinya tiga kekiri dari depan rumahmu
sedang apa kamu? kenapa parkir disitu? siapa itu yang ada di boncenganmu?
perempuan manis dengan rambut tergerai sepunggung, turun dari tempat ternyamanku.
dia cukup cantik.
aku ingat. itu emm siapa namanya? Lisa? tetangga baruku.
setahuku Lisa memang satu sekolah dengan kamu.
sebelum perempuan itu pindah kamu sudah semangat sekali menceritakan tentang dia.
kenapa aku marah? aku cemburu? ah sudahlah. mungkin ini perasaan kesal saja karena kamu tidak jujur soal keterlambatannya menjemputku. ada latihan basket lah, urusan sama sekolahlah, entah.

aku masih meneguknya. cangkir teh yang ketiga.......
sampai sekarang kamu tidak berubah, masih membuatku menunggu

aku juga ingat hari itu.
hari perang dingin kita yang terakhir.
"sombong" kata itu yang pertama kamu ucapkan saat aku membuka pintu rumahku yang sudah lama tak kau ketuk.
'aku? sombong? bukannya kamu? gak pernah kerumah, gak ada kabar' cercahku dalam hati saja.
"heeemmmm" enggan ku tanggapi kamu. "masuk" lanjutku.
semuanya terjadi seperti biasa namun tidak biasa.
seperti biasa kamu kerumah, ku ambilkan minuman, makanan, dan segala hal yang kita lakukan.
yang berubah adalah keadaan, suasana, pembicaraan yang tak lagi seru, sentuhan yang hangat atau keributan yang menyenangkan.
"kenapa sih?" suaramu mulai geram setelah omonganmu ku tanggapi dingin.
"apanya yang kenapa?"
"ya kenapa kamu diam Ra?"
"kamu juga diam, aku jadi males ngomong"
"aku kan biasanya cuma pendengar. kamu gak kaya biasanya, yang ceriwis." kamu bergeser kesisiku.
aku terdiam, padahal suara hati ini kadang mengomel, kadang ingin memelukmu. aku hanya diam.
semua berubah. bahkan sampai kamu pergi tak ada lagi suara.

suara tarikan kursi didepanku membuatku tersadar dari lamunanku.
kamu, iya kamu Zan.
duduk dihadapanku seperti tak bersalah meninggalkan aku dan membuat aku menunggu,selalu.
mataku berkaca-kaca.

setelah hari itu, tak ada lagi ketukan pintu darimu
suara motormu
sikap diammu
kamu pergi tanpa pamit

"apa janji itu masih berlaku?" tanyaku ketika kita keluar dari cafe itu.
kamu hanya tersenyum. dan menggenggam tanganku. hangat.

tinggal

kamu lagi
tempat itu lagi
diam-diam aku memperhatikanmu ketika kamu memperhatikan aku
selama ini aku berpura tak tahu
menganggap kamu hanya semu
padahal tidak
aku berusaha ada untuk selalu kau perhatikan
aku selalu datang disaat yang sama kamu tiba
kamu adalah alasan aku disini
untuk saling memperhatikan dalam diam namun indah
tetaplah tinggal
sampai aku datang, duduk disampingmu
untuk menyapamu
suatu hari
aku janji

mawar

Aku merapikan mejaku dan memasukan semua benda yang ada di atas sana kedalam tasku dengan terburu-buru.
Pulang sekolah ini aku ada janji dengan sahabat-sahabatku.


"Tasha!"
Baru beberapa langkah aku keluar dari kelas, ada seseorang yang memanggil namaku tepat dibelakangku.
Aku kenal siapa pemilik suara itu, Ryan.
Cowok yang sedang dekat denganku. Cowok yang sangat kusukai.
Aku menoleh.
Benar saja, itu dia. Ryan Wisnu Pratama.
Kulihat dia sedang berlutut dan membawa setangkai bunga.
Bunga? Iya bunga. Bunga mawar yang tengah ranum merahnya.
Aku spontan tersenyum.
"ini." dia tersenyum, Dia menyerahkan bunga mawar itu padaku, aku segera menyambutnya dan tersenyum tanpa bisa ku kendalikan, aku bahagia sekali.
Mendapatkan bunga dari orang yang sudah 2bulan ini mengisi pesan di handphoneku.
"tadi jatoh dari dalam tasmu." sejurus kemudian beberapa kalimat keluar dari bibirnya dan memusnahkan senyumku. Sakit sekali. Sebisa mungkin aku tersenyum dan menutupi gelayut kesedihan dimataku.
"terimakasih" hanya itu kata yang dapat aku sampaikan.



'lalu bunga dari siapa ini?' tanyaku dalam hati sambil melangkah kearah sahabat-sahabatku setelah mulai tersingkir rasa kecewaku.




ada sepotong kertas merah kecil diikat dengan benang ke tangkai bunga itu.





"RWP?"
"tapi dia bilang?"

senja di kala senja

senja yang sama
senja pun masih ada disisi
dulu
angin sore melambaikan nyiur tepi pantai dan juga rambutnya yang indah tergerai menari menghipnotisku untuk terus membelainya
langit sore dipantulan matanya sepuluh ribu kali lebih indah dari aslinya
deburan ombak yang terdengar di sertai kisah yang terlontar dari bibirnya menjadi harmonisasi dua irama yang indah
namun ternyata hari ini berbeda
pelukan itu membuatku mengerti bahwa sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi
airmata itu sudah merupakan yang terakhir beralasanku
tarikan nafas itu adalah caramu untuk mengucapkan selamat tinggal
hingga seseorang menjemput tanganmu
lalu kau menyambut, pergi dengannya
dan tak pernah kembali.
senja, berbahagialah

Sabtu, 02 November 2013

tidak perlu setinggi dia untuk bisa menggapainya

namanya evan.
pertama kali kenal, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menulis nama panjangnya.
Radevan Mahardinatamaputra
kini nama itu aku hapal diluar kepala.
bahkan seperti terngiang di setiap udara yang masuk telinga
terasa sayangnya disetiap darah yang dipompa
sosoknya yang tinggi membuat aku memaknai susahnya untuk menggapai seorang dia.
tapi kini aku mengerti.
bahwa tidak perlu sampai untuk mengacak rambutnya atau berhasil mengecup pipinya agar dia tahu bagaimana rasanya.
tapi dengan memeluk dia yang lenganku di pinggangnya dan kepalaku tepat didadanya saja aku bisa mendapatkannya.
aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya,  merasakan tipis nafasnya diatas rambutku yang sebahu.
aku bisa mendapatkan dia