Aku ingat hari itu, lonceng sepedamu berdenting marah ketika aku
membuatmu menunggu lama dihari pertama kita masuk sekolah menengah
pertama. Seragam putih biru kebesaranku membuatku sedikit kerepotan
mengangkat rok yang juga terlalu panjang agar tidak mengepel lantai
terasku yang cukup berpasir. Mama bilang supaya aku tidak perlu membeli
seragam baru setiap tahunnya, tidak dipedulikannya aku yang merajuk tidak
terima.
"aku kan ingin tampil cantik didepan Zan, ma." kataku
waktu itu. Mama hanya bisa tertawa kecil mendengar omelan putrinya yang
mulai beranjak remaja ini.
Berbeda dengan kamu, seragammu yang pas
sekali ditubuh tinggi tegapmu, membuatmu tidak tampak canggung ketika
masuk kesekolah nanti. Sepeda berloncengmu juga siap mengantar kita,
seperti biasa kamu mengelapnya di halaman rumahmu sementara aku bersiap.
Tapi hey, mana senyum manis dan ucapan selamat pagimu. aku tertawa
kecil, pasti karena 'mr. selalu tepat waktu' ini merajuk karena aku
membuatmu menunggu lama dihari pertama menunjukkan kedisiplinan nomor satumu pada
sekolah baru nanti.
Seperti itulah, teman yang teledor bisa selalu
punya teman yang sangat rapi. itulah kita, tapi kita bukanlah hanya
sekedar teman. aku masih ingat janji itu, dua puluh tahun lalu. saat
kita masih di taman kanak-kanak. kita janji untuk saling menunggu dalam
kebersamaan. kita punya komitmen untuk meresmikannya setelah lulus SMA.
mungkin bagimu itu adalah janji yang tidak berarti. tapi sampai hari ini
aku masih mengingatnya.
Ku seruput lagi secangkir teh yang masih sisa setengah itu.
Setelah
lulus smp kita memasuki sekolah yang berbeda. kamu yang pintar tentu
dapat diterima di sekolah terfavorit. sementara aku dengan otak yang
pas-pasan cukup bersyukur diterima di sekolah unggulan kedua di kota
ini.
Aku sempat menangis waktu tahu kita harus berpisah walaupun hanya
terpisah sekolah untuk pertama kalinya setelah kita selalu bersama
sejak kepindahanmu kekota ini. tepatnya kesebelah rumahku.
"jangan nangis dong, Ra. nanti setiap hari pasti aku pasti nganter kamu deh."
janji itu kamu tepati, pada awalnya.
hari-hari
pertama ku sekolah masih sama. yang berbeda hanya sepedamu yang
sekarang sudah bermesin. meskipun kita disekolah yang berbeda kamu
menepati janjimu untuk mengantarku setiap pagi dan menjemputku tepat
ketika lonceng tanda pulang bersiul. bahkan kita mengerjakan tugas
bersama. hari-hari masa orientasi juga begitu,kalau aja waktu itu kamu
menurut untuk pergi terlebih dahulu pasti celana barumu tidak akan sobek
karena kamu rela dihukum jongkok karena terlambat akibat mengantarku
kesekolah. aku yang teledor ini waktu itu bangun kesiangan. kalau saja
waktu itu kamu tidak masuk tanpa izin ke dalam kamarku mungkin aku akan
bangun kesorean. belum lagi rambutku yang belum diikat sesuai peraturan
konyol masa orientasi sekolah. tapi kamu. rela. walaupun setelah itu
kamu tidak berbicara apapun padaku ketika aku menjahitkan celanamu.
wajahmu itu. aku ingat betul cemberutmu.
aku menarik nafas berat layaknya orang yang tercekik kerinduan. masih ku pandangi langit sore dari jendela cafe ini.
segala
hal yang mengingatkanku padamu ku coba untuk menghapusnya. tapi apa
daya bila semua benda, barang, tempat ku hindari tapi didalam diriku
sendiri masih ada kamu, Zan.
pada pertengahan kelas 11 kamu mulai terlambat untuk menjemputku.
aku masih ingat hari itu.
ini pertama kalinya kamu telat menjemputku tiga hari secara berturut-turut. aku kesal sekali. tidak pernah kamu telat menjemput tiga kali berturut-turut dengan waktu membuatku menunggu yang sama, dua jam setengah. aku tahu itu bukan waktu yang singkat jika bukan kamu yang akan menjemput tentu aku tidak akan menunggu sebegitu lama.
aku khawatir. sungguh. menghubungi ponselmu pun hanya berakhir suara operator. tidak diangkat.
aku memutuskan untuk tidak lagi menunggu
hari itu aku pulang dengan menumpang pada temanku.
setelahnya
aku merengek pada Papa agar diajarkan cara mengendarai sepeda motor agar
tak bergantung lagi pada siapapun. termasuk padamu.
suara motor itu. suara motormu. aku hapal benar.
aku mengintip dari jendelaku dilantai atas.
mana? motormu tidak terparkir ditempat biasa
ku ikuti suara itu, oh di seberang sana.
dua kekiri dari depan rumahku. artinya tiga kekiri dari depan rumahmu
sedang apa kamu? kenapa parkir disitu? siapa itu yang ada di boncenganmu?
perempuan manis dengan rambut tergerai sepunggung, turun dari tempat ternyamanku.
dia cukup cantik.
aku ingat. itu emm siapa namanya? Lisa? tetangga baruku.
setahuku Lisa memang satu sekolah dengan kamu.
sebelum perempuan itu pindah kamu sudah semangat sekali menceritakan tentang dia.
kenapa aku marah? aku cemburu? ah sudahlah. mungkin ini perasaan kesal saja karena kamu tidak jujur soal keterlambatannya menjemputku. ada latihan basket lah, urusan sama sekolahlah, entah.
aku masih meneguknya. cangkir teh yang ketiga.......
sampai sekarang kamu tidak berubah, masih membuatku menunggu
aku juga ingat hari itu.
hari perang dingin kita yang terakhir.
"sombong" kata itu yang pertama kamu ucapkan saat aku membuka pintu rumahku yang sudah lama tak kau ketuk.
'aku? sombong? bukannya kamu? gak pernah kerumah, gak ada kabar' cercahku dalam hati saja.
"heeemmmm" enggan ku tanggapi kamu. "masuk" lanjutku.
semuanya terjadi seperti biasa namun tidak biasa.
seperti biasa kamu kerumah, ku ambilkan minuman, makanan, dan segala hal yang kita lakukan.
yang berubah adalah keadaan, suasana, pembicaraan yang tak lagi seru, sentuhan yang hangat atau keributan yang menyenangkan.
"kenapa sih?" suaramu mulai geram setelah omonganmu ku tanggapi dingin.
"apanya yang kenapa?"
"ya kenapa kamu diam Ra?"
"kamu juga diam, aku jadi males ngomong"
"aku kan biasanya cuma pendengar. kamu gak kaya biasanya, yang ceriwis." kamu bergeser kesisiku.
aku terdiam, padahal suara hati ini kadang mengomel, kadang ingin memelukmu. aku hanya diam.
semua berubah. bahkan sampai kamu pergi tak ada lagi suara.
suara tarikan kursi didepanku membuatku tersadar dari lamunanku.
kamu, iya kamu Zan.
duduk dihadapanku seperti tak bersalah meninggalkan aku dan membuat aku menunggu,selalu.
mataku berkaca-kaca.
setelah hari itu, tak ada lagi ketukan pintu darimu
suara motormu
sikap diammu
kamu pergi tanpa pamit
"apa janji itu masih berlaku?" tanyaku ketika kita keluar dari cafe itu.
kamu hanya tersenyum. dan menggenggam tanganku. hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar